Every Meeting is Meaning

Tulisan ini 5% serius, 15% santai, selebihnya terserah yang nulis..

Serius dulu…

Suatu ketika aku terhenyak mengiyakan perkataan suamiku bahwa tidak ada yang bisa menjamin kita akan bertemu lagi. Kami menjalani suatu hubungan luar biasa atau bahasa kerennya disebut long distance relationship (LDR). Biasanya, suami-istri hidup bersama yang secara fisik berdekatan. Sedangkan yang di luar kebiasaan yaitu hidup terpisah. Meski ukuran jauhnya bervariasi antara satu orang dengan orang lain. LDR biasanya terpisah daerah, pulau hingga negara. Namun, ada sesuatu yang bisa menjaga hubungan ini yaitu memaknai setiap pertemuan. Kalo di jawa, bisa naik kereta api PJKA alias Pulang Jumat Ahad Kembali. Tapi di luar jawa yang transportasinya masih belum terjangkau, pertemuan bisa sebulan dua kali, sebulan sekali, atau sesempatnya. Oalahh.. Menyadari akan luasnya Indonesia yang terdiri dari jutaan pulau, izinkan aku menjadi orang yang lebih bersyukur saat tau ada teman satu profesi yang menjalani LDR di pulau-pulau terpencil. Salut deh buat temen-temen yang ditempatkan di daerah remote (bukan hanya Papua saja, namun daerah lain pun saya yakin masih banyak yg syusyah aksesnya di Nusantara ini)

Baru Santai…

Pertemuan fisik-ly meski sebentar lebih mengena lebih daripada sekedar telpon, chating, apalagi sms-an. Ada pelajaran berharga pas aku melakukan general check up sebagai syarat 100% PNS, aku semakin tersadar ketika bertemu dengan dokter di poli khusus yang terakhir mengetesku. Awalnya sempet jengkel juga nih (maklum habis disuruh skotjump) nih dokternya kok nanya-nanya terus pikirku saat itu. Okeh deh aku ladeni, tetap sabar dan tersenyum saja. Sambil melihat jam yang sudah hampir jam menyusui bagi anakku.

Obral obrol dengan dokternya yang ternyata lulusan Ausie, dokternya nanya, “mbak di KSDA ya? Kakak saya juga pensiunan kehutanan. Mbk tau yang bikin hutan mangrove di Bali itu siapa?” ku jawab “setahu saya yang buat orang Jepang pak, tapi sekarang udah diserahkan kepada pemerintah dibawah kemenhut” kata dokternya “mbk tau gak kenapa mereka bikin itu?” aku (sambil mikir) “eeemmm” dokter “mbak lulusan mana?” aku “saya dari fakultas sospol UGM”. Dokter “lho, kog bisa orang sospol di kehutanan?” aku (sambil senyam-senyum) “iya bisa pak, ngurusi SDM-nya, tapi dulu skripsi saya tentang lingkungan kog” (disambung-sambungin). Dokter “bagus kalo begitu” beliau pun memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri bahwa Negara maju punya hutang emisi pada Negara berkembang, terlebih Amerika yang baru mau menyetujui kesepakatan tentang emisi (Protokol Kyoto) pada Bali Road Map di Bali. Trus beliau merujuk pada buku Reinventing Goverment dan satu buku lagi (tentang lingkungan) yang saya lupa judulnya karena belum pernah baca.

Sambil melirik jam lagi, “dok, ini gak lama kan tes-nya, karena saya mau pulang menyusui?” Dokter “enggak”. Tapi diskusi terus berlanjut dengan tema berbeda. “Mbak kalo menyusui mending langsung aja ke anaknya, jangan dikasih susu formula” Pikirku, baru kali ini aku menemukan dokter yang pro-asi meski laki-laki. Lanjut dokternya “mbak tau anaknya presiden?” pikirku “haduh, anaknya yang mana?” Ini malah ngosip lagi! “anak presiden yang cerai itu? Mbak tau kan?” hem, eh, iya dok. Dokter-pun menjelaskan tentang kebutuhan afeksi atau kasih sayang dari teori Maslow. Kata dokternya “Sekaya apa pun orang, kalau kurang kasih sayang dari kecil, besarnya bisa jadi penjahat mbak! Kurang apa to istrinya sudah cantik, pinter lagi, dulu waktu di Australi sering satu bis dengan saya” aku “naudzubillahimindzalik” sambil teringat anakku!

Dokter “Mbak asli mana?” Aku “saya orang Jogja” “oh kalau begitu bisa bahasa jawa” lanjut dokternya mencoba mengetes beneran gak sih aku orang jawa. Kemudian dokter itu mengeluarkan kata-kata ajaib “Nek pengen urip mulyo, nyudani madang lan guling” yang artinya kurang lebih “kalau ingin hidup mulia, kurangi makan dan tidur” ketahuan kalo bahasa jawaku amburadul. berhadapan dengan dokter lulusan Australi malah ngomong pake bahasa jawa yang sangat filosofis. Aku tanya “orang jawa ya pak?” Jawab dokternya sangat santai “oh bukan, saya orang Indonesia. Ayah saya tentara jadi sering pindah-pindah tugas”

Kemudian aku baru di cek kesehatan akhir dan dibuatkan surat lulus tes kesehatan (akhirnya, setelah 3 hari bolak balik RSU menjelajahi berbagai poli). Lama-lama kupikir, ini priksanya 5 menit tapi ngobrolnya 15 menit sendiri! hadew,..lha dokternya ngajak ngobrol mulai dari protocol Kyoto sampai teori maslow!

6 comments

  1. mb mela, kaifa hal? waaah, aku ga ngebayangin gimana susahnya LDR. njuk nek mb mela kerja, afkar dibawa siapa?

    • alhamdulillah bi khair, sarah masih di arab kah? umur 2-3 bulan afkar diTPAI deket rumah (peserta paling kecil).tiap pagi dan sore hari anter jemput afkar jalan kaki..jarak rumahku dari kantor +/- 100 meter, jadi kalo istirahat pulang utk nyusui.

Tinggalkan komentar